Selasa, 27 Januari 2009

1 Jam yang Tuhan Minta

Sering saya dengar dalam khotbah ditanyakan: “Tuhan memberikan kita 24 jam sehari, 7 hari seminggu tapi berapa lama kita berikan untuk Tuhan?” Pertanyaan ini suka mengganggu diri saya. Terus terang saya tidak bisa berdoa lama. Berdoa 5 menit bagi saya terlalu lama da


Sering saya dengar dalam khotbah ditanyakan: “Tuhan memberikan kita 24 jam sehari, 7 hari seminggu tapi berapa lama kita berikan untuk Tuhan?” Pertanyaan ini suka mengganggu diri saya. Terus terang saya tidak bisa berdoa lama. Berdoa 5 menit bagi saya terlalu lama dan melelahkan. Untungnya Tuhan yang kita imani memang sangat baik. Dia mengajari dan menuntun saya sampai bisa menikmati saat-saat doa.

Tuhan merubah saya dari buku psikologi rohani yang saya baca. Penulisnya mengatakan salah satu kemungkinan kita tidak bisa berdoa karena ada luka batin. Kalimat ini sangat menghentak saya. Bahkan seluruh isi buku merobek-robek pikiran. Betapa tidak, ciri-ciri manusia luka batin yang dijelaskan dalam buku itu persis seperti diri saya saat itu.

Dari situ Tuhan menuntun saya mengikuti retret penyembuhan luka batin. Tapi ada satu penghalang besar. Saya orang yang sangat tertutup pada masalah pribadi, apalagi pengalaman pahit masa lalu. Pengalaman masa lalu cenderung saya lupakan begitu saja. Waktu membaca buku itu pun saya bertanya dalam hati: luka batin apa yang saya punya? Saya tidak merasa dilukai dalam hidup ini. Saya baik-baik saja. Kemudian saya ketahui sifat seperti ini pun sebenarnya menunjukkan adanya luka batin itu sendiri.

Saya berangkat dengan rasa kuatir retret akan sia-sia karena saya tidak mampu mengenali luka batin itu. Juga rasa pesimis tidak mampu mengangkat luka itu mengingat sifat saya yang lebih suka menutup dari pada membicarakan. Bersyukur Tuhan mengutus seorang pendamping bijaksana dalam retret. Ia berhasil meyakinkan saya dengan satu analogi sederhana: "Umpamakan dirimu sebuah radio rusak yang dibawa ke tukang servis. Seperti pemilik radio memasrahkan radionya diservis ahlinya sampai jadi benar, demikian pun serahkan dirimu kepada ahlinya. Dia tidak akan salah servis karena tukangnya adalah Pencipta dirimu sendiri".

Sebuah analogi menarik. Di tengah keragu-raguan saya, Tuhan mau menservis diri saya. Saya berusaha berserah dan memohon Roh Kudus agar mampu melihat sisi gelap hidup saya. Selama retret saya merasa Tuhan begitu dekat. Saya jadi percaya sikap berserah diri pada Tuhan membuat Dia memiliki ruang gerak untuk bebas bekerja dalam diri saya.

Makin saya rasakan hadirat Tuhan, makin saya membuka hati. Hingga pada saat diagnosa …ketika dituntun merenungkan masa lalu…Tuhan dengan sangat jelas menunjukkan dalam batin saya suatu bayangan masa lalu ketika masih kecil kira-kira baru belajar jalan. Saya tidak tahu persis itu kejadian apa tetapi ada suatu getaran batin yang sangat kuat terhubung dengan fenomena itu sampai air mata keluar tanpa bisa dihentikan. Fenomena itu terus menerus muncul, begitu hidup dan nyata, saya melihat diri saya yang masih kecil sedang memandang ayah dan ibu dengan rasa empati yang sangat dalam.

Buru-buru habis renungan saya menelepon ibu. Saya minta ibu menceritakan pengalaman buruk keluarga ketika saya masih berusia 1-2 tahun. Ibu mengingat-ingat, menceritakan satu demi satu hingga sampai pada satu cerita yang sangat menyentuh hati. Ayah ibu saya pernah disidang oleh warga sekampung dalam suatu kerumunan masa karena suatu masalah bisnis. Menurut ibu, ketika itu saya berumur 1,5 tahun dan saya ada bersama mereka pada saat kejadian.

Waktu ibu cerita peristiwa itu, saya merasakan kembali suasana seperti yang muncul dalam renungan sebelumnya. Saya merasakan suatu ketegangan yang luar biasa dialami ayah dan ibu. Tanpa sadar “penyakit” tegang itu saya bawa terus hingga usia 33. Selama itu saya mengalami rasa tegang tanpa alasan kalau melihat kerumunan orang. Sangat tidak nyaman berada di tengah kerumunan orang. Saya mungkin satu-satunya mahasiswa yang tidak pernah ikut demo waktu awal jaman reformasi. Di kantor kalau ada rapat saya selalu pilih tempat paling belakang, itu pun masih duduk dalam keadaan tegang bahkan kadang badan gemetar tak beralasan. Setahun belakangan semakin parah, baru dengar akan ada rapat saja rasa tegang sudah datang.

Pengalaman traumatik (luka batin) seperti yang saya alami ternyata sangat menghambat relasi dengan Tuhan. Tapi Tuhan murah hati, Ia membebaskan saya dari belenggu yang menghambat saya merasakan kasihNya. Selama ini saya hanya bisa mendengar orang mengatakan kasih Tuhan begitu indah. Kini Dia mengijinkan saya mengalami sendiri kasihNya itu. Saya ingin ceritakan buah dari karya Tuhan pada diri saya:

Pertama, empat hari sepulang retret ada rapat di kantor. Dengan santai saya mengikuti rapat dan duduk di bagian depan, sesuatu yang langka terjadi. Sudah setengah perjalanan rapat baru saya sadar: koq saya duduk di depan? Tempat saya bukan di sini, biasanya saya duduk paling belakang. Saya lupa dengan ketegangan-ketegangan itu. Saya benar-benar sudah disembuhkan Tuhan.

Kedua, Tuhan dengan kasihNya yang tulus membolehkan saya merasakan hadiratNya yang begitu indah sehingga waktu berdoa 5 menit rasanya selalu kurang. Bahkan ada saat-saat dimana Dia rindu mencurahkan kasihNya, rindu mendengar pujian dan ungkapan syukur. Untuk itu Dia butuh waktu yang tentu saja tidak cukup hanya 5 menit.

Suatu pagi, anak saya (5thn) mengajak saya untuk bermain. Saya janji bermain tetapi saya minta waktu berdoa sebentar. Saya lihat saat itu pkl 6.35. Awalnya saya berdoa biasa, mengucap syukur, menyampaikan permohonan dsb. Tiba-tiba saya merasakan sukacita luar biasa. Dalam suasana itu mengalir dengan lancar kalimat-kalimat doa yang selama ini tidak pernah saya alami. Ada rasa mantap yang luar biasa dalam batin sehingga yang saya inginkan hanya mengucap syukur dan memuji-muji Tuhan tanpa putus. Saya sadar penuh anak saya 4 kali datang menepuk bahu saya, mengajak saya berhenti berdoa dan segera bermain dengannya tetapi dorongan untuk tetap memuji Tuhan lebih kuat dari ajakan anak itu. Saya sadar juga sudah duduk berdoa jauh lebih lama dari biasanya tetapi saya terus merasakan hadirat Tuhan. Begitu suasana itu hilang saya baru menutup doa dan kembali melihat jam, pkl 7.35. Tuhan mengundang saya mengalami kasihNya 1 jam tepat, tidak lebih dan tidak kurang.

Pernah juga suatu malam saya terbangun pkl 3.00. Berhubung saya bangun harusnya jam 4.00 maka saya tidur lagi. Hari berikut saya pun terbangun pada jam yang sama dan kembali tertidur karena belum waktunya bangun. Anehnya, malam ketiga saya terbangun lagi tetapi 5 menit lebih cepat dari dua malam sebelumnya.

Saya tergelitik dengan peristiwa ini jadi saya merenung sebentar lalu memutuskan bangun berdoa. Sebelum tanda salib saya melihat jam 3.00. Saya berdoa rosario seperti kebiasaan tiap pagi. Pikir saya setelah rosario bisa tidur lagi, lumayan masih 40 menit. Yang terjadi, sebelum rosario selesai, dorongan untuk tetap berdoa datang lagi. Dan seperti kejadian-kejadian sebelumnya, kalimat doa, nyanyian syukur dan pujian mengalir dari suasana hati yang penuh sukacita. Saya sadar sudah berdoa lebih lama dari biasanya bahkan sempat mengatakan: “Tuhan kapan berhentinya…rasanya sudah lama saya berdoa” tetapi saya tidak menemukan alasan untuk berhenti begitu saja. Saya mengikuti suasana itu sambil menyampaikan ujud-ujud doa disertai puji-pujian dan ucapan syukur. Begitu dorongan itu mereda, saya menutup doa dan seketika itu juga weker berbunyi tepat jam 4.00. Tuhan meminta saya merasakan kasihNya 1 jam tepat, tidak lebih dan tidak kurang.

Dua kejadian ini hanya sebagian dari pengalaman menarik dimana Tuhan memberi kesempatan saya menikmati saat-saat doa yang dulu tidak pernah saya rasakan. Saya sangat bersyukur Tuhan membolehkan saya mengalami semua ini. Bagi saya, pengalaman ini meneguhkan saya bahwa Tuhan ingin mencurahkan kasihNya kepada manusia tetapi Dia butuh keterbukaan hati dan ketulusan memberi kesempatan padaNya. Tuhan tidak minta waktu di luar kesanggupan kita, Dia sangat toleran dan memahami kemampuan manusia sebab 1 jam adalah rata-rata waktu yang ideal bagi seseorang untuk berdiam diri.

Jakarta, 08/08/08
T. Lukman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar